Bila Cinta Ku Serahkan pada Sang Penggenggm Cinta
Malam itu kutuliskan curahan isi hati,
kepasrahan hati untuk tidak terpaut pada lelaki siapapun dia, ingin menjemput
jodoh siapapun yang ditunjuk Allah sebagai imamku. Menempelnya noda merah jambu
dalam dada ini harus kuakhiri malam itu juga! tidak ingin lagi berharap apalagi
menunggu, karena ku yakin itu hanyalah godaan syeitan terkutuk. Aku ingin
menghabiskan sisa umurku dengan diawali niat yang suci. Aku ikhlas-seikhlasnya
dengan pilihan yang Allah takdirkan. Setelah kutulis berlembar- lembar
curhatanku pada Sang Penggenggam cinta d imalam itu kemudian hati ini menjadi ploong dan tenang.
Keesokan harinya aku begitu damai dan
bersemangat menjalankan aktifitas, juga merasa siap dan mantap menjemput jodoh.
Pada akhirnya bisa juga lidah ini mengutarakan hasrat baik pada orang- orang
sekitar yang kuanggap pantas untuk dimintai bantuan, yaitu agar dicarikan jodoh
terbaik untukku. Ada beberapa nama lelaki yang disodorkan oleh guru senior
padaku. “ Passs bangeet bu, Ini bu Ema siapa tau cocok, ada duda anaknya
sekolah di sini, udah bertahun- tahun dia sendiri dan tidak mau nikah lagi
katanya.. tapi pas lihat bu Ema berbaur dengan anak- anak murid, rasa ingin
menikah itu muncul kembali, dan dia ingin bu Ema yang mendampingi anak-
anaknnya” Cerita sang senior menggebu- gebu tentang seorang wali murid di SDIT
tempat aku mengajar. ‘ Masa sih pak, nti saya istikhorohkan dulu ya pak…”.
Seribu rasa berkecamuk dalam dada antara
senang, geEr, bimbang, pesimis dan sebagainya. Karena diawal niatku untuk
menikah adalah lillahi ta’ala dan siap menerima dengan siapapun yang datang,
maka tentu tak ada alasan untuk aku menolak permintaan itu. Tapi aku pun terlebih
dahulu harus mengantongi izin keluarga khususnya ibuku. Dan ternyata tanggapan
terkuat dari keluargaku adalah “ Ema harus bersabar… masih banyak pemuda yang
pantas untuk Ema, sabar dulu yaa…”, baiklah… dan obrolan tentang sang wali
murid pun selesai.
Selang beberapa minggu berikutnya, aku
dipanggil oleh senior yang lainnya. “ Em, ada ikhwan yang mau sama kamu, kira-
kira kamu mau gak yaa… ( dengan ekspresi wajah senyum- senyum kecil ). Saya
jadi grogi dan menebak- nebak nama ikhwan yang dimaksud, siapakah gerangaaan,
siapa diaaa, perjaka ataukan dudaaa. Daan jreng-jreeng… “Rahmatullah Ubay ma,
gimana??”, “ Eh Iya pak, nti saya istikhoroh dulu ya pak…”. Tiba –tiba dunia
serta merta berubah menjadi bunga-bunga indah dan sejuta rasapun menjadi satu
seperti pada nama ikhwan sebelumnya tapi rasa yang mendominasi kini adalah
bunga- bunga ditaman syurga, indah harum semerbak… Gusti Allah Engkau yang
langsung memberikannya padaku, di saat hati ini telah kembali ke titik 0. Hanya
meminta yang terbaik dari Mu.
Dengan semangat pejuang 45 kuarahkan
motorku menuju pulang. Tetehku lah yang pertama kali ku ceritakan perihal info
penting ini. Dan sambil tersipu malu aku memulai percakapan “ Teh, tau
gak, tadi Ema dipanggil pak Luti dan dia bilang rahmat minta Ema, hehee”, Tetehku
hanya senyum- senyum saja melihat tingkahku, “ Ooowh gitu yaa, berati bener
omongannya waktu itu..”, “ Hah omongan apa teh?, tanyaku penasaran, berusaha keras mengingat- ingat hal penting, tapi... tak tertebak aah..
Sejak
sms terakhirnya beberapa minggu lalu kami tidak pernah berkomunikasi lagi. Seingatku, waktu itu tiba-tiba dia sms sekedar tanya kabar dan diakhiri dengan meminta izin untuk meneleponku. Tapi aku menolak untuk menerima permintaannya karena memang pada saat itu tidak ada hal penting yang mesti diobrolkan. Jawabanku hanya "kalo ada hal yang perlu disampaikan dengan menelpon silahkan telpon saja teteh saya, biar dia yang menyampaikannya ke saya".
..........................................................................................Bersambung
0 komentar:
Posting Komentar